Jumat, 12 September 2008

ZONA GIZI

Menerobos kemiskinan melalui Gizi yang tepat.
Oleh Jariston Habeahan *)

Mengungkap tentang realita gizi yang ada pada masyarakat indonesia, sampai saat ini tak terasa telah mengusik kita bahwa gizi buruk adalah bukti nyata bangsa kita masih dililit oleh kemiskinan. Banyak aspek yang yang terlibat tidak berkembang akibat terbentur dengan kemiskinan dan salah satunya adalah aspek kesehatan, yang kali ini mengenai gizi buruk. Banyaknya penderita gizi buruk dan kemiskinan berada pada garis horizontal. Artinya gizi buruk akan mempengaruhi kualitas sumberdaya manusia Indonesia menjadi rendah.
Akhir-akhir ini penanganan gizi buruk tampaknya dipandang sebelah mata oleh komponen bangsa yang terkait mengenai kesehatan yang didalamnya gizi dan pangan, padahal kekurangan gizi sebenarnya adalah masalah serius untuk kemajuan suatu bangsa. Dan tak bisa dipungkiri, gizi buruk akan semakin meningkat bila kondisi bangsa yang semakin memburuk. Seperti halnya, banyaknya bencana alam seperti gempa, banjir, tanah longsor, gagal panen dan termasuk juga aspek transportasi yang tidak beres seperti kecelakaanAdam Air, tenggelamnya KM sinopati, anjloknya Kereta Api Senja Bengawan jurusan Solo-jakarta dan lain-lain. Kejadian seperti masih satu dua tiga bencana dari antara berjuta bencana yang mengakibatkan kemiskinan tetap melilit di tanah air ini. Dan semua ini sangat berdampak pada kesehatan dan termasuk juga aspek lainnya, seperti pendidikan dan juga ekonomi.
Gizi buruk adalah kondisi kurang gizi yang disebabkan rendahnya konsumsi energi dan protein dalam asupan makanan sehari-hari. Seorang penderita gizi buruk tidak mendapatkan minimum angka kecukupan gizi (AKG), menyebabkan energi kurang dan berdampak pada rentannya penyakit. Menurut Direktur Bina Gizi Masyarakat Departemen Kesehatan (Ina Hernawati), sepanjang tahun 2006, pemerintah baru menangani 19.567 kasus gizi buruk. Jumlah tersebut menurun jauh dibanding pada 2005, yang mencapai 76.178 kasus. Dari 19.567 kasus, 193 anak meninggal karena terlambat ditangani (Tempo interaktif, 3 /1/ 2007). Degradasi kinerja pemerintah tampak jelas dari data statistik diatas. Padahal selama tahun 2006 jumlah bencana yang melanda tanah air ini begitu banyak dari tahun sebelumnya, sehingga meningkatkan jumlah penderita gizi buruk dan disamping itu, permasalahan gizi buruk tidak hanya menyangkut pada satu faktor, melainkan banyak faktor memacu (multifaktor) dan muncul secara kronis sehingga bisa sampai tahap komplikasi. Komplikasi dalam hal ini, mempengaruhi aspek lainnya, baik itu pendidikan maupun pertumbuhan ekonomi. Oleh sebab itulah, jika penaganan gizi buruk tidak cepat ditangani maka akan meningkatkan jumlah korban, yang lambat laun dampaknya sangat mempengaruhi sumber daya manusia dari generasi ke generasi. Khususnya wanita hamil, balita, generasi usia remaja, yang bila mengidap gizi buruk pada saat ini akan mempengaruhi kualitas sumber daya manusia Indonesia dimasa yang akan datang.
Menyorot tentang masa yang akan datang, berarti melibatkan generasi yang diharapkan yaitu anak. Mengenai anak, sebagaimana termaktub dalam UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak bahwa Dampak yang ditimbulkan anemia gizi pada anak adalah kesakitan dan kematian meningkat, pertumbuhan fisik, perkembangan otak, motorik, mental dan kecerdasan terhambat, daya tangkap belajar menurun, pertumbuhan dan kesegaran fisik menurun serta interaksi sosial kurang. Keadaan ini tentu memprihatinkan bila menimpa anak-anak Indonesia yang nantinya akan menjadi penerus pembangunan. Oleh karenanya, seluruh komponen bangsa (pemerintah, legislatif, swasta dan masyarakat) bertanggung jawab memenuhi hak-hak anak yaitu kelangsungan hidup, pertumbuhan dan perkembangan serta perlindungan demi kepentingan terbaik anak
Dalam menanggulangi masalah ini diperlukan sedikitnya tiga tiga hal pokok solusi permasalahan.
Pertama, bahwa ekonomi negara yang masih merosot, berdampak pada kelemahan dalam hal ketersediaan pangan (swasembada pangan). Cara penanggulangan pemerintah sebelumnya dilakukan pemerintah adalah melakukan import bahan pangan, yang secara otomatis akan meningkatkan harga jual dan menurunkan daya pembeli masyarakat. Kebutuhan pangan kembali jadi masalah. Sehingga porsi makanan dan keragaman makanan yang dikonsumsi masyarakat setiap harinya tidak sebanding dengan angka kecukupan Gizi. Solusi praktis seperti ini berarti kurang efesien, meskipun masih tergolong efektif. Dan sebaliknya, jika ekonomi negara yang meningkat akan berdampak pada pengurangan kemiskinan. Dengan demikian, masyarakat akan semakin produktif dan sekaligus meningkatkan pendapatan setiap masyarakat, seiring dengan itu kebutuhan pangan akan semakin terpenuhi. Hal ini sangat berkaitan dengan Teori Beneth yang menyatakan “Semakin tinggi pendapatan maka kualitas makanan semakin baik dan Semakin beragam makanan yang dikonsumsi akan semakin baik.”. Artinya, jumlah pendapatan dengan kualitas makanan yang dikunsumsi sangat berkorelasi (berkaitan). Singkatnya, permasalahan Gizi bisa Diatasi apabila pemerintah mempunyai starategi yang efisien dalam menata ekonomi negara untuk menerobos kemiskinan.
Kedua, adalah mengenai pengetahuan / pendidikan yang rendah. Kondisi kemiskinan suatu negara, juga berada pada garis horijontal dengan pendidikan. Sebab, jika pendidikan rendah maka otomatis masyarakat akan miskin dan jika masyarakat miskin, bagaimana bisa untuk menikmati pendidikan yang tinggi atau lebih berkualitas. Sebagaimana, tujuan bangsa untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, sekali lagi, masalah kekurangan gizi tidak boleh diabaikan. Karena salah satu kendala masyarakat tentang adalah kurangnya pemahaman yang mengakibatkan kebiasaan perilaku yang buruk dalam asupan makanan kesehariaanya. Misalnya adalah mengenai cara berpikir dalam masyarakat yang tidak menunjang gizi anak terwujud dengan kebiasaan konsumsi rokok yang dilakukan oleh orangtua laki-laki (bapak/ ayah)yang hampir dijumpai setiap keluarga di penjuru Indonesia ini, yang anaknya mengalami gizi buruk, namun bapaknya terus saja merokok. Padahal kebiasaan merokok itu berarti mengeluarkan uang. Banyak uang "dibakar" sia-sia padahal sebenarnya dapat digunakan untuk membeli kebutuhan protein atau menambah gizi anak. Demikian juga para orang tua yang konsumtif terhadap orang tua yang selalu mengikuti trend jenis baju-baju untuk dirinya sendiri, namun kebutuhan gizi anak tidak terpenuhi. Karena Gizi buruk disebabkan rendahnya konsumsi energi dan protein dalam asupan makanan sehari-hari. Selanjutnya pengetahuan dan pendidikan sangat signifikan (penting) dalam hal memilih kebutuhan makanan sehari-hari, sebab kandungan energi dan protein yang terkandung dalam makanan itu berbeda-beda dan dengan harga yang berbeda. Namun uniknya, makanan yang harganya tinggi tidak selamanya sejalan dengan kandungan gizi yang tinggi. Artinya makanan yang murah belum tentu mengandung gizi rendah. Dan sebaliknya, makanan yang mahal belum tentu mengandung nilai gizi yang tinggi. Misalnya tahu, tempe yang harganya relatif rendah, namun memiliki kandungan protein yang tinggi. Jadi, tahap kedua dalam pengagulangan masalah gizi setelah ekonomi negara telah membaik, harus ditopang dengan pengetahuan dan pemahaman mengenai nilai gizi yang ada pada makanan melalui Dinas kesehatan terkait dan juga melalui kualitas pendidikan yang bermutu.
Ketiga, masalah Higien dan sanitasi lingkungan. Kebersihan menurut standart kesehatan bahwa sanitasi lingkungan yang buruk atau rendah berpengaruh pada frekuensi terjadinya penyakit yang erat kaitannya dengan status gizi yang umumnya disebabkan oleh virus, bakteri dan parasit. Penyakit yang disebabkan oleh bakteri misalnya TBC, batuk rejan, pneumonia dan juga diare. Begitu juga halnya dengan virus yang menyebabkan campak dan diare Rotavirus. Termasuk juga, infeksi oleh parasit, yang dapat menyebabkan penyakit malaria, parasit usus, amubiasis, cacing tambang, ascaris (cacing gelang), tricuris (cacing tambang) dan lain-lain. Jika demikian halnya maka absorbsi dan asupan makanan dalam tubuh akan terganggu. Dan semua agent penyakit ini bisa mewabah jika kondisi lingkungan yang mendukung untuk berkembang. Lingkungan yang mendukung apabila sanitasi dan higien lingkungan yang tidak sehat. Seperti pembungan sampah sembarangan, penggundulan hutan yang mengakibatkan maraknya bencana banjir. Yang ahirnya menimbulkan berbagai penyakit. Seperti halnya ahir-ahir ini wabah Flu burung yang terjadi akibat Virus H5N1 menyebabkan berjuta unggas terinfeksi dan mati dan juga sengaja dimatikan hanya untuk mencegah penularannya. Hal ini sangat berdampak pada asupan gizi pada masyarakat, karena masyarakat akan menjadi takut bersentuhan dengan Unggas apalagi untuk mengkonsumsinya. Hal ini juga membutuhkan pemahaman baru bagi masayarakat tentang bagaimana cara menghindari penularannya dan bisa tetap mengkonsumsi sebagaimana sediakala.
Kaitan dari Permasalahan ini bahwa, malagizi akan memperparah penyakit infeksi, demikian juga halnya infeksi memperburuk malagizi. Karena jika tubuh terinfeksi oleh virus, tubuh akan menjadi lemah sampai pada selera untuk mengkonsumsi makanan akan berkurang. Sebalikya status gizi yang makin baik akan meringankan diare, dan selanjutnya, diare ayng makin ringan akan memperbaiki status gizi.(scrimshaw et al. 1968 ). Sehingga masalah Higien dan sanitasi lingkungan tidak hanya pada keindahan dan kemewahan tetapi kebersihan yang didominasi oleh pentingnya arti sehat sehingga penularan Agent penyebab penyakit dan pertumbuhannya akan diperkecil ataupun diminimalkan.

Penutup

Bilamana benang merah daripada malnutrisi (gizi buruk) telah tampak jelas, maka hal selanjutnya adalah penanganan secara serius oleh pemerintah dalam banyak faktor diatas sehingga masalah kesehatan secara lambat laun dapat teratasi. Khususnya pada ibu hamil yang membutuhkan gizi cukup, balita dalam pertumbuhan otak dan fisik dan juga para remaja dalam pertumbuhan fisik dan mental. Karena pada kenyataanya, masalah Gizi buruk adalah tanggung jawab seluruh komponen bangsa (pemerintah, legislatif, swasta dan masyarakat). Oleh karenanya, menerobos kemiskinan melalui gizi yang tepat membutuhkan interaksi yang tepat antara masyarakat dan pemerintah dalam hal persedian pangan, peningkatan pemahaman atau cara berpikir masyarakat mengenai nilai kandungan gizi dan juga dalam hal Higien/sanitasi lingkungan yang sehat untuk proses melepaskan diri dari sekat sekat kemiskinan yang selama ini menjadi melilit bangsa ini.
*) Penulis adalah Mahasiswa Kesehatan Masyarakat USU

Tidak ada komentar: