Sabtu, 13 September 2008

KEGELISAHAN MAHASISWA

SUSAH JADI MAHASISWA SEHARUSNYA
Oleh Jariston Habeahan*)

Dalam aktivitas binatang sehari-hari, kehidupannya menjadi monoton dari waktu kewaktu ke waktu. Makan sekenyang-kenyangnya, tidur seenaknya, tanpa takut kegemukan atau penyakit akibat kelakuannya dan termasuk juga memuaskan birahinya tanpa mengenal tempat dan waktu yang tepat. Faktanya, Binatang tidak sadar akan hal itu. Buktinya, binatang tidak menunjukkan perlawanan ketika hidupnya begitu-begitu saja. Dan itu memang sudah alami sebagai kodratnya. Lihatlah seekor kerbau yang seharian membajak disawah, dengan cambukan petani untuk meningkatkan kinerja dalam mengeluarkan tenaganya. Namun meskipun demikian kerbau tidak merasa tersinggung untuk itu. Buktinya ketika besoknya kerbau terbut dihadapkan pada kerjaan yang sama akan selalu turut tanpa perlawanan.
Samakah binatang dengan manusia? Tentunya tidak! Namun ada kalanya manusia hampir sama dengan binatang, Makan sekenyang-kenyangnya, tidur seenaknya dan tidak tahu etika dalam bertindak dan tak sadar bahwa hidupnya telah monoton tanpa perlawanan. Di mana perlawanan yang berproses menuju keluar dari ketertindasan, proses pembodohan, dan juga keluar dari zona kenyamanan (comport zone) cenderung tidak lagi diperankan.

Manusia sebagai mahasiswa
Tentunya mahasiswa sebagai manusia, dengan akal manusia yang melebihi mahluk apapun dibumi ini mempunyai kapasitas dan kesempatan yang besar untuk jadi manusia yang seharusnya. Terlebih ketika sebagai mahasiswa, mempunyai waktu dan kesempatan yang cukup baik dalam pengenalan jati diri, pembentukan karakter dan kepribadian sebagai manusia yang seharusnya (what ought). Namun kenyataannya, kebanyakan mahasiswa apa adanya (what is) hanya mementingkan nilai akademik semata dan cepat tamat. Dan entah mengapa, banyak mahasiswa yang terbawa arus kapitalisme, hedonisme dan juga juga budaya konsumerisme sehingga mahasiswa kebanyakan cenderung lemah akan kreatifitas. Padahal, sebagai mahasiswa seharusnya dapat memilih banyak hal untuk mengisi waktu selama mahasiswa dengan proses kematangan sebagai sarjana nantinya. Misalnya bedah buku, diskusi kelompok dan juga aktif di organisasi dan masih banyak lagi kegiatan yang memacu kreatifitas. Dalam lembaran kali ini akan mengungkap bahwa mahasiswa itu sama dalam satu hal namun berbeda dalam banyak hal. Satu hal yang sama yaitu status mahasiswa yang terdaftar secara administrasi di perguruan tinggi. Namun secara realita, banyak perbedaan pada status layak atau tidaknya sebagai mahasiswa seharusnya, yang konon katanya kaum intelektual (agent of intelegence) dan agent peubah (agent of canges) serta sebagai kontrol sosial (agent of social control), yaitu mahasiswa sebagai seorang kaum terdidik, yang kelak menjadi generasi pembaharu.
Berbicara mengenai mahasiswa seharusnya memunculkan pemaknaan antara mahasiswa idealis dengan mahasiswa aktivis. Namun keduanya tidak dikotomis. Artinya mahasiswa aktivis harus saling melengkapi dengan sifat sebagai mahasiswa idealis.
Menurut kamus modern Daryanto (1994) kata idealis berasal dari kata ideal yaitu sesuai dengan gagasan atau angan-angan. Berarti idealis artinya orang-orang bercita-cita tinggi. Soe Hok Gie dalam mengartikan idealisme itu, ketika beliau memakai kata apa. Itu artinya yang mau harus ketahui adalah inti arti idealisme yang terdalam. Yang mana dalam filsafat, kata tanya apa berarti mencari arti tentang inti arti yang terdalam dari suatu hal. Sedangkan aktivis itu adalah penggerak atau orang bekerja aktif. Menurut Sarlito Wirawan Sarwono (1978) Aktivis adalah mahasiswa yang pernah ikut dalam suatu gerakan protes (minimum sekali). Dengan demikian aktivis dan idealis adalah dua hal yang berbeda namun harus saling melengkapi. Artinya seorang mahasiswa yang seharusnya harus memiliki cita-cita yang tinggi dan menjadi penggerak atau bekerja aktif dikehidupannya baik sebagai mahasiswa maupun sebagai masyararakat. Dan juga tidak lupa untuk merenungkan apa itu mahasiswa sesungguhnya. Dengan demikian inilah yang disebut disebut dengan aktivis yang idealis.

Kecenderungan yang terjadi pada mahasiswa
Apabila kita analisis secara umum, ada kecenderungan yang acapkali dijumpai pada mahasiswa. Pertama, mahasiswa cenderung tidak tertarik untuk digurui. Terlebih yang menggurui rekannya mahasiswa. Barangkali disebabkan karena citra (image) kaum intelektual, dan merasa ilmu yang dimilikinya sudah melangit padahal usahanya masih sedikit Sehingga menjadi cenderung tampak kesombongan intelektual. Namun hal ini jarang disadari oleh mahasiswa. Bukan hanya itu, sebab mengurui disini identik dengan menasehati yang berarti memberikan pesan tentang kebaikan. Sebenarnya hal ini terjadi apabila yang menerima nasehat merasa dirinya lebih tinggi daripada yang memberi nasehat, sehingga ada kecenderungan untuk beranggapan bahwa “Anda tidak pantas untuk menasehati aku”. Inilah yang disebut kesombongan rohani. Ketidakpantasan seseorang dalam menasehati bisa terjadi karena latarbelakang agama, suku, tempat asal dan juga perbedaan organisasi mahasiswa yang diikuti. Dimana mahasiswa menjadikan perbedaan hal diatas khususnya agama dan organisasi mahasiswa menjadi tameng dan topeng dalam berkomunikasi dan saling menasehati dengan sesama mahasiswa. Dan menjadikan perbedaan menjadi tapal pembatas untuk tidak lagi berinteraksi satu sama lain walaupun persamaan dan perbedaan itu hanya hasil reduksi mereka sendiri. Akhirnya terjadilah eksklusivisme kelompok dan juga agama.
Menurut Karman Y. (2007) Seorang intelektual Kristen seharusnya memiliki jati diri ganda: warga dunia sekaligus warga surga. Dua jati diri itu tidak dikotomis, melainkan saling mengisi. Dalam perspektif iman Kristen yang holistik, mencintai Tuhan menjadi nyata dalam mencintai sesama dan dalam tingkat berbangsa adalah mencintai negeri. Hal ini berarti komunikasi tidak hanya cenderung untuk Tuhan melalui Doa-doa, tetapi juga ada keseimbangan komunikasi antara Tuhan dengan manusia.
Kedua, mahasiswa cenderung mementingkan kemampuan akademik daripada kemampuan non akademik. Hal ini mungkin disebabkan karena nilai non akademik tidak ada di Transkrip nilai yang ada hanyalah nilai akademik. Sehingga jika IPK tinggi akan terkesan lebih brilian daripada yang IPKnya lebih rendah. Tapi kesan seperti itu sah-sah saja dan tak perlu diperdebatkan. Karena penyebabnya bisa beragam. Barangkali penyebabnya antara lain, pertama bahwa orang yang IPKnya tinggi disebabkan karena lebih fokus ke nilai akademiknya, dan juga pintar untuk mengalokasikan waktu untuk nilai akademiknya, alasan lain bahwa mahasiswa diberangkatkan dari rumah/ kampung bukan untuk berorganisasi tapi untuk mengikuti perkuliahan. Namun dengan kecenderungan yang demikian akan melupakan kemampuan non akademik, seperti aktualisasi diri, kemampuan berbicara (retorika), penajaman kepekaan terhadap analisa masalah sosial termasuk juga kecerdasan emosional dalam hal pemahaman akan perbedaan karakter orang lain dan lain-lain
Ketiga, mahasiswa cenderung tidak kritis. Dalam hal ini kristis merupakan penerapan cara berpikir yang logis dan juga objektif. Sehingga harusnya tidak menerima begitu saja dengan apa yang dikatakan orang lain. Namun kenyataannya mahasiswa lebih suka diam atau menutup mulut daripada mengkritisi dosen karena terbentur dengan persoalan etika, takut pada penekanan IP dan lain-lain. Sehingga mahasiswa tidak berani untuk menyatakan salah jika salah dan benar jika benar.
Keempat, mahasiswa cenderung tidak suka diperintah, barangkali penyebabnya karena calon sarjana. Jadi kerjanya pemikir atau paling tidak pemberi perintah (penyuruh). Pada akhirnya tidak ada yang mau disuruh akhirnya saling apatis atau yang sering berakhir dengan perdebatan tanpa tindakan (No Action Talk Only). Dan bisa jadi karena bentukan dari keluarga mahasiswa secara individu sehingga terbiasa dengan posisi paling tinggi dibanding mahasiswa yang lain, atau adanya faktor kemalasan dengan mahasiswa saat ini. Sebagai contoh, bila anda masuk dalam suatu organisasi, dan suatu ketika ada pertemuan dalam suatu tempat dan waktu tertentu, coba perhatikan siapa yang sering memberesi atau melengkapi kebutuhan-kebutuhan tertentu? misalnya logistik, atau apa saja yang tiba-tiba dibutuhkan dalam suatu kegiatan tersebut. Pasti ada orang yang serba sibuk mengerjakan ini dan itu, tapi yang lainya duduk manis seperti raja dan ratu. Dan untuk kegiatan selanjutnya jika orangnya tetap sama, maka yang serba sibuk juga cenderung orang itu juga. Menjadi kebiasaan bagi dia/mereka sibuk untuk memberesi dan melengkapi setiap ada pertemuan sehingga yang lainnya tidak peduli yang lambat laun tidak lagi merasa bersalah. Hal ini masih contoh kecil. Boleh diterima atau tidak, karena menurut yang saya amati, mahasiswa cenderung mau disuruh apabila ada intimidasi, iming-iming atau kepentingan kepentingan tertentu. Misalnya mahasiswa akan patuh dengan perintah dosen apabila konsekwensinya akan mendapat nilai yang bagus. Mengumpulkan tugas tepat waktu, mematuhi perintah dosen untuk mengisi absensi untuk beberapa pertemuan walau dosennya alpa dalam mengajar.

Bagaimana dengan kecederungan mahasiswa seharusnya atau aktivis yang idealis?
Dengan melihat kecenderungan diatas, jelas bukan kecenderungan sebagai mahasiswa seharusnya. Kecenderungan diatas hanya menumbuhkan egoisme (mencari kesenangan sendiri). Seorang aktivis tidak merasa bodoh ketika digurui, tidak merasa rendah ketika diperintah dan tidak dungu atau lemah karena kritikan serta tidak menerima begitu saja apa kata orang lain. Akan tetapi semuanya itu menjadi pembelajaran dalam pembenahan dan koreksi diri demi pembetukan karakter serta kepribadian. Itulah kecenderungan sebagai mahasiswa seharusnya. Bukan seperti binatang yang hidupnya monoton untuk setiap harinya. Bukan seperti brung yang membuat sangkar dayng bentuknya begitu-begitu saja. Hasrat manusia untuk berubah kearah yang lebih baik, menjadi salah satu perbedaan utama antara binatang dengan manusia khususnya mahasiwa. Sehingga hidup akan lebih bermakna untuk mencapai kebahagiaan dan pengejawantahan sukses sejati. Oleh karena itu masa mahasiswa adalah masa pengembaraan penemuan jati diri. Sehingga ketika sudah saatnya untuk terjun kedunia alumni, tidak lagi gelabakan dan demam panggung ketika saatnya menunjukkan kemampuan. Dengan demikian basic yang kuat akan mampu melawan arus keterpurukan dan ketertidasan di tanah air ini. Sebab jika tidak, maka kita akan tergilas oleh kemajuan zaman yang semakin modern.
Menurut Umar Said (2001), Salah satu permasalahan terbesar bangsa ini adalah banyaknya manusia “sampah” yang menggerogoti tanah air. Dalam situasi seperti yang sekarang ini, maka terasa sekali bahwa bangsa kita sudah kehilangan pedoman moral, atau bahwa negara kita sudah kehilangan “panutan” (sesuatu atau seseorang yang patut diikuti jejaknya). Perkembangan terakhir di negeri kita menunjukkan berbagai pertanda atau gelagat bahwa hari-kemudian Republik Indonesia menghadapi masa-masa yang tidak menentu, yang penuh dengan krisis parah yang multi-dimensional. Kalau tidak ada usaha bersama dari rakyat untuk mencegahnya, maka Republik kita ini akhirnya akan makin terus membusuk, kemudian hancur, hanya oleh karena perbuatan orang-orang berakhlak rendah.
Penutup
Untuk itu, mahasiswa seharusnya merupakan seruan yang harus ditindaklanjuti untuk membenahi diri sebagai calon sarjana yang seharusnya, sehingga dapat mengambil peranan penting dalam mencapai cita-cita diri, keluarga dan bangsa ini. Dan menjadi mahasiswa idealis (aktivis) memang tidak gampang. Butuh permenungan yang dalam sehingga tidak menjadi aktivis yang instan atau karbitan. Sebab menjadi mahasiswa aktivis yang idealis dalam gerakan mahasiswa harus memiliki karakter yang menarik melalui persyaratan berikut sebagai parameternya: Pertama, Mempunyai prestasi akademik yang baik (IPK diatas rata-rata), sehingga tercipta keseimbangan antara studi dan organisasi. Kedua, dasar (basic) organisasi yang kuat, yang karena terbentuk melalui pengkaderan yang berjenjang dari tingkatannya (pengakderan yang mempunyai standart level), yang tidak hanya mengejar popularitas sesaat. Ketiga, mampu me-manage (mengatur) waktu, sehingga bukan waktu yang mengaturnya. Dengan demikian penggunaan waktu yang tidak jelas manfaatnya harus dibatasi. Keempat, mampu menuangkan pokok pikiran dan ide-ide nya kedalam tulisan. Memposisikan budaya lisan pada porsinya dan meningkatkan budaya baca dan budaya menulis. Sehingga akan muncul gerakan penyadaran yang tidak hanya dalam bentuk aksi jalanan melainkan dalam bentuk tulisan juga. Dan yang terakhir adalah santun dalam bertingkah, cerdas dalam berfikir sehingga menjadi panutan mahasiswa lainnya. (Harian Radar Karawang, Mei 2005)
Dari persyaratan diatas, jelas bahwa menjadi aktivis itu memang butuh proses sebagai pembentukan karakter (caracter building) yang berkelanjutan. Namun syarat demikian tidaklah terlalu kaku untuk mematahkan semangat kita sebagai aktivis gerakan yang mungkin beberapa point diatas belum bisa kita penuhi sebagai mahasiwa yang aktif di organisasi. Setidaknya pembentukan karakter itu harus disadari dan berjalan terus kearah yang lebih baik sehingga didunia alumni tidak menjadi “sampah” yang hanya menyusahi diri, keluarga dan juga bangsa ini. Memang susah jadi mahasiswa Idealis, lebih muda jadi mahasiswa “sampah”. Namun jika dibenturkan dengan keadaan bangsa yang semakin carut marut dan gegap gempitan zaman, dimana penganguran semakin meningkat dan biaya pendidikan semakin mahal, serta rakyat miskin semakin terlunta-lunta. Pada saat seperti ini, mana yang kita pilih? Mahasiswa “sampah” atau mahaiswa Idealis. Semoga kita sama-sama memilih mahasiswa Idealis. Hidup Mahasiswa !!!

*) Pengalaman organisasi penulis a.n:
o Biro aksi dan pelayanan GMKI FKM USU periode 2005-2006
o Wasek Aksi dan Pelayanan GMKI FKM USU periode 2006-2007
o Wasekjend Komunikasi dan Informasi PEMA FKM USU periode 2006-2007
o Ketua GMKI FKM USU periode 2007-2008

Tidak ada komentar: